Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Lari Dari Kenyataan, Cerpen: Hayatun Nufus



HAYATUN NUFUS
Siswi kelas 9 MTs ini merupakan remaja yang berbakat di dunia tulis menulis. Senang menulis diary, berdiskusi, dan berdebat. Berikut ini adalah karyanya yang pernah menjadi salah satu karya terbaik di sekolah.


LARI DARI KENYATAN

Ariana. Biasa dipanggil Ana. Adalah remaja yang ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya kerana perceraian. Ibunya bernama Rhia sedangkan ayahnya, Dimas. Kini, Ana hidup bersama neneknya yang sudah tua renta.

Keruntuhan rumah tangga Ana bermula sejak pertengkaran orangnya yang hampir terjadi setiap hari. Hingga Ana sudah merasa bosan tinggal di rumah yang seperti neraka. Ia juga malu bila tetangga menyaksikan pertengkaran demi pertengkaran yang tak pernah putus.

Pada suatu malam Ana sibuk dengan handphon-nya. Karena keasyikan chatting-an, hingga ia lupa waktu yang sudah larut malam. Setelah tau waktu sudah dini hari, ia pun menutup percakapan dan segera tidur.

Saat pagi harinya Ana masih tidur nyenyak. Saking ngantuknya gara-gara bergadang semalaman. Akhirnya ia bangun kesiangan.

Ana baru bisa bangun gara-gara mendengar orang sedang ribut di luar sana. Lekas ia bangkit dan  keluar mencari arah suara keributan itu.

Akhirnya Ana menemukan asal suara itu. Ternyata keributan itu adalah suara ayah dan ibunya yang sedang cek-cok di dapur.

Ana terkejut dan syok melihat pemandangan yang mencekam di rumahnya. Air pun mengalir di pipinya yang lembut itu. Ia menyaksikan orang tuanya yang sedang berantem, saling melemparkan kata-kata kasar, melempar piring dan gelas, hingga semuanya berantakan. Luluh lantah. Pecah berkeping-keping.

Ana tidak kusa melihat kejadian itu. Kemudian ia berlari menuju kamarnya. Mengunci pintu. Lalu melemparkan tubuhnya di atas ranjang. Sambil menangis ia merenungi nasipnya. Kemudian ia berpikir, “Buat apa aku mengurung diri di dalam kamar. Seharusnya aku tidak pergi meninggalkan mereka. Seharusnya aku disana di antara mereka, untuk meredakan suasana yang sedang memanas itu.

Kemudian Ana berdiri. Ia menghapus air matanya. Kemudian keluar dari kamar dan menuju ke dapur. Sesampainya disana ia menumpakan segala perasaannya pada kedua orang turanya.

“Diam!!!” Pekik Ana dengan suara yang lantang.

Kedua orang tuanya pun menoleh dan menatap Ana yang sedang berdiri bagai malaikat di depannya. Ana pun melanjutkan kata-katanya.

“Cukup!  Cukup sudah pertengkaran diantara kalian.  Kalian seperti anak-anak yang menyelesaikan masalah dengan emosi, amarah, pertikaian. Harusnya kalian seperti orang dewasa, yang menyelesaikan masalah dengan kepala dingin!”

Ayannya lalu menjawab, “Diam kamu anak kecil, ini bukan urusan kamu. Kamu tidak perlu iku campur dalam urusan orang tua. Kamu jangan sok tau, dan jangan pernah kamu ngatur-ngatur kami sebagai orang tua.

“Aku berhak ikut campur, Ayah. Karena aku adalah anak kalian,”

“Kamu nggaak berhak! Dan kamu, (sambil menunjuk Rhima isterinya). Saat ini juga, dan detik ini juga, aku mentalak tiga kamu!”

“Oke, kita cerai!” dengan mudah Rhima menjawabnya.

“Apakah ayah dan ibu sudah gila! Dengan mengambil keputusan ini, apa kalian tidak memikirkanku,  masa depanku!”

Ariana berlari menuju kamarnya dan mengemas barang-barangnya. Dengan rasa kecewa, Ana pergi meninggalkan rumah dan menghilang entah kemana. Ia seperti mencoba menjauh dari kenyataan yang pahit dan mengiris-iris jiwanya.

Esok harinya, Dimas terus mencari Ana yang menghilang. Ia mencba mencarinya di rumah neneknya namun ia tidak di sana.

Padahal sebetulnya Ana bersembunyi di rumah neneknya, dan mencoba mengintip suasana. Ia pikir suasana akan membaik jika ia pergi dari rumah dan meningggalkan masalah itu. Tapi, masalahnya justeru semakin rumit. Orang tua mereka kini saling menyalahkan tentang kepergian Ana.

“Dimas, apakah Ana sudah ketemu?” Dengan rasa khawatir neneknya bertannya.

“Belum, Ma.” Jawab Dimas singkat.
“Ini salah kamu. Kamu yang telah memulai masalah ini, dan menceraikanku.  Jika kamu tidak membuat masalah ini dan tidak menceraikanku, maka Ana tidak akan pergi meninggalkan rumah.”
Rhina mulai berbicara.

“Kenapa kamu menyalahkanku. Bukankah kamu dari asal masalah ini. Harusnya kamu bertanggung jawab, bukan aku. Dan seharusnya kamu bisa menahan emosimu!”

“Kamu yang salah, bukan aku!”

“Kamu!”

“Cukup! kenapa kalian saling menyalahkan. Kalian sama sama bersalah, dan harus sama-sama bertanggung jawab atas kepergian Ana. Kalian ini bukannya mencari Ana. Kalian malah bertengkar dan saling menyalahkan.” Kata sisi nenek yang sudah tidak tahan.

Keduanya lalu terdiam.

Ana yang melihat dan mendengarnya dari luar rumah, hanya bisa menangis dan mulai lemah. Ia berjalan seperti orang yang tidak punya gairah hidup. Kemudian ia duduk di sebuah rerumputan. Dan ia berpikir sejenak. Dan...

“Harusnya aku tidak pergi dari rumah. Seharusnya aku bisa menghadapi pertengkaran kedua orang tuaku. Bukan malah lari dari kenyataan ini...” Kata Ana lirih.

Lalu ia pun bangkit dari duduknya dan kembali ke rumah. Kemudian meminta maaf kepada kedua orang tuanya, dan mencoba menerima kenyataan bahwa orang tuanya tidak akan pernah bersatu.


Cerpen ini pernah terbit di Basindon

Post a Comment for "Lari Dari Kenyataan, Cerpen: Hayatun Nufus"